Senja mulai merayap di langit, mewarnai cakrawala dengan jingga sebelum akhirnya tenggelam dalam kegelapan. Di tepi dermaga, Lia berdiri diam, membiarkan angin laut yang sejuk menerpa wajahnya. Tangannya menggenggam erat selembar surat yang telah berkali-kali ia baca, namun kata-katanya tetap sulit diterima.
"Maaf, Lia. Aku harus pergi." Kata-kata itu terus terngiang di pikirannya, meninggalkan perasaan perih yang tak kunjung reda. Damar, seseorang yang pernah mengisi hari-harinya, kini hanya tinggal bayangan dalam kenangan yang tertulis di atas kertas yang mulai usang.
Di depannya, laut berkilauan memantulkan cahaya lampu dari kapal-kapal yang perlahan bergerak menjauh. Suara mesin kapal yang menderu mengingatkannya pada saat terakhir bersama Damar di bandara. Saat itu, Damar menggenggam tangannya erat, bukan untuk bertahan, tetapi sebagai perpisahan yang tak bisa dihindari.
"Kita bisa bertemu lagi, kan?" suara Lia lirih, nyaris tak terdengar.
Damar tersenyum tipis, seolah tahu bahwa jawabannya tak akan semudah itu. "Laut membawa kita ke tempat yang berbeda, Lia. Kadang kita bisa pulang, tapi kadang kita harus pergi ke tempat yang tak kita duga."
Sekarang, di bawah langit malam yang bertabur bintang, Lia menyadari bahwa ombak dan mesin tak pernah bergerak ke arah yang sama. Seperti dirinya dan Damar—ombak membawanya pada arus kenangan, sementara mesin telah membawa Damar pergi ke dunia yang tak bisa lagi ia jangkau.
Air matanya jatuh bersama angin malam yang berhembus lembut. Dengan tangan bergetar, ia melipat kembali surat itu dan menggenggamnya erat. Mesin dan ombak telah memisahkan mereka, tetapi kenangan, meski menyakitkan, akan selalu tersimpan dalam hatinya.
sumber: https://id.pinterest.com/pin/949696640173943514/
0 Comments